Pontianak – Suasana tepian Sungai Kapuas di Rumah Budaya Kampung Caping menjadi saksi tiga hari kegiatan Kolase Journalist Camp (KJC) 2025, 22–24 Agustus 2025. Mengusung konsep kemping, KJC 2025 bukan hanya ruang silaturahmi antarjurnalis dan pegiat lingkungan, tetapi juga wadah belajar, berbagi ide, hingga melakukan aksi nyata untuk bumi.
Selama tiga hari, rangkaian acara diisi dengan pameran fotografi, tradisi saprahan,Tradisi workshop, diskusi, nonton bareng, aksi bersih sungai, hingga media gathering. Berikut kilas baliknya.
Hari Pertama: Dibuka dengan Saprahan dan Pameran Foto

Tradisi Saprahan membuka Kolase Journalist Camp (KJC) 2025 di Rumah Budaya Kampung Caping, Jumat (22/7)
KJC 2025 disambut dengan pameran foto dan dibuka dengan tradisi saprahan, makan bersama khas Melayu yang mengedepankan kebersamaan.
Suasana makin hangat ketika pemutaran film pendek dari dua anak muda, sutradara film dokumenter Kynan Tegar dan kreator konten Paskalia Wandira, tampil berbagi pengalaman mereka dalam menjaga budaya sekaligus merawat alam lewat videografi.
Hadirnya 20 karya foto bertema satwa dan keanekaragaman hayati Kalimantan Barat semakin menambah isi kegiatan.
Pameran ini menampilkan karya fotografer jurnalis asal Kalbar, yaitu Victor Fidelis Sentosa, Jessica Wuysang, Arief Nugroho, serta Sabar Minsyah dari Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (BBTNBKDS). Ragam satwa dan keanekaragaman hayati Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi sorotan utama dalam pameran ini.
Foto-foto tersebut dipajang di galeri sederhana di tepi Kapuas, menampilkan potret bekantan, rangkong gading, bunga bangkai, hingga anggrek hitam. Tak ketinggalan, foto orangutan dihadirkan khusus untuk memperingati Hari Orangutan Sedunia.

Arief Nugroho, PIC Pameran Fotografi, menyebutkan pameran ini jadi ruang kolaborasi antara jurnalis dan pemerhati lingkungan. “Kami ingin menunjukkan betapa kayanya Kalbar, sekaligus mengingatkan bahwa kekayaan ini butuh dilindungi,” ujarnya.
Hari Kedua: Belajar dari Praktisi dan Aktivis Lingkungan
Hari kedua diisi dengan workshop dan diskusi yang menghadirkan 3 narasumber; Yayasan WeBe, Komisi Informasi Kalbar dan PRCF (People Resources and Conservation Foundation) Indonesia.
Diskusi mengalir dari pembahasan konservasi laut, hak masyarakat atas informaai publik hingga masyarakat sebagai garda terdepan konservasi hutan.

Ketua Yayasan WeBe Konservasi Ketapang, Setra Kusardana, menuturkan bagaimana lembaganya lahir dari komunitas penyelam yang prihatin dengan banyaknya satwa laut mati.
Setra menceritakan keberhasilan WeBe menyelamatkan dugong di Pulau Sepeda pada 2020, yang menjadi momentum penting gerakan konservasi laut di Kalbar.
“Ancaman terbesar laut justru datang dari daratan. Sembilan puluh persen sampah laut berasal dari aktivitas manusia di hulu,” tegasnya.
Selain menyelamatkan satwa, WeBe juga mendorong desa pesisir mengembangkan wisata berbasis konservasi melalui program WIATA (Wira Wisata Katulistiwa) sejak akhir 2024 untuk mendampingi desa pesisir mengelola wisata berbasis konservasi bersama Pemerintah Provinsi Kalbar.
“Pariwisata adalah tulang punggung konservasi. Jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat sekaligus menjaga laut,” tegas Setra.
Diskusi berlanjut bersama Komisi Informasi Kalbar. Komisioner Lufti Faurusal Hasan menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu penggunaan anggaran hingga dokumen lingkungan.
“Semua badan publik wajib terbuka, termasuk desa penerima dana APBN atau APBD,” jelas Lufti. Ia menekankan, keterbukaan informasi bukan sekadar transparansi anggaran, tetapi juga bagian dari hak masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Dalam lima tahun terakhir, sengketa informasi di Kalbar tergolong sedikit, hanya 5–20 kasus per tahun, sebagian besar terkait lahan dan permintaan data ke BPN. “Keterbukaan informasi bukan hanya soal akuntabilitas anggaran, tapi juga hak masyarakat untuk tahu kebijakan dan dokumen yang berkaitan dengan lingkungan serta sumber daya alam,” tegas Lufti.
Sedangkan Imanul Huda, Direktur PRCF (People Resources and Conservation Foundation) Indonesia, menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam menjaga hutan karena masyarakat merupakan garda terdepan dalam menjaga hutan.
“Sejak awal kami sadar, jika ingin program konservasi berkelanjutan, masyarakat harus lebih dulu diberdayakan. Sehingga ketika kami tidak ada lagi, merekalah yang melanjutkan. Pendekatan yang digunakan menggabungkan konservasi biodiversitas dan perhutanan sosial, memberi akses legal kepada masyarakat untuk mengelola hutan sekaligus memperoleh manfaat ekonomi,” terang Imanul Huda.
PRCF mendampingi warga lewat perhutanan sosial, patroli biodiversitas digital dengan aplikasi smart patrol, hingga usaha alternatif seperti madu hutan dan kratom.
Tantangannya memang berat, mulai dari godaan tambang hingga regenerasi kepemimpinan desa. Namun, Imanul optimis, masyarakat bisa menjaga hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Hari Ketiga: Aksi Bersihkan Kapuas dan Media Gathering

Aksi bersih sungai Kapuas bersama FAJI Kalbar dan para peserta KJC, Minggu pagi
Minggu pagi, suasana KJC makin hidup dengan aksi nyata bertajuk “Bersihkan Kapuas: Jangan Ada Sampah di Antara Kita.” Peserta bersama FAJI Kalbar, Dinas PUPR, dan warga setempat berhasil mengangkat sekitar 700 kilogram sampah dari bantaran Kapuas hingga kolong rumah warga.
Ketua Yayasan Kolase, Andi Fachrizal, menegaskan bahwa isu sampah adalah tantangan utama Kota Pontianak. “Setiap hari kota ini menghasilkan 350–400 ton sampah, sebagian besar dari limbah rumah tangga. Jika tidak dikelola, sungai akan jadi korban,” ujarnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan media gathering. Peserta sibagi 2 kelompok dan diberikan pamaparan materi dan diakusi. Pada sesi ini, Dr Hari Prayoga dari Universitas Tanjungpura mengungkapkan data mengejutkan: Kalbar telah kehilangan 61 persen hutannya dalam dua dekade terakhir.
“Tahun 2000 luas hutan kita 13 juta hektare. Sekarang tinggal 4,9 juta hektare. Sebagian besar sudah jadi perkebunan sawit,” jelasnya.
Selain sawit, deforestasi juga dipicu tambang dan penebangan. Namun, di balik tantangan, Kalbar menyimpan potensi besar, mulai dari kekayaan biodiversitas hingga pasir kuarsa untuk industri panel surya.
“Ancaman nyata kita adalah deforestasi dan perubahan iklim. Jika hutan rusak, kita kehilangan fondasi kehidupan,” tegas Hari.
Usai media gathering, KJC 2025 resmi ditutup dengan suasana penuh harapan. Ketua Yayasan Kolase, Andi Fachrizal, mengingatkan pentingnya mengenali ragam hayati sebagai langkah awal mencintai lingkungan.
“Sayangnya, sentuhan kita terhadap kekayaan alam ini masih lemah karena kurangnya jaringan. Padahal, laut dan hutan Kalimantan menyimpan banyak pengetahuan dan potensi,” ucapnya.
Ia juga mengajak peserta agar tidak berhenti pada acara ini. “KJC 2025 bukan akhir, tapi awal dari kerja panjang. Kita harus terus berjejaring, menjaga semangat, dan konsisten mengawal isu lingkungan,” tegasnya.
Andi menutup dengan refleksi tentang Sungai Kapuas. “Banyak yang bilang sungai ini membelah Pontianak. Padahal keliru. Sungai justru menyatukan kota dengan peradaban sungai. Sungai adalah urat nadi kehidupan kita,” ujarnya.
Kolase Journalist Camp 2025 pun berakhir, namun semangatnya tidak berhenti. Dari tepian Kapuas, pesan kuat tentang kolaborasi, keterbukaan, dan kepedulian lingkungan mengalir.

Komentar