Lokal
Beranda » Berita » Buruh Perempuan Sawit Masih Terjebak Status BHL

Buruh Perempuan Sawit Masih Terjebak Status BHL

PONTIANAK – Kelapa sawit kerap disebut “emas hijau” karena menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Namun di balik kilau itu, ribuan buruh terutama perempuan masih menghadapi kesejahteraan yang timpang.

Isu ini mencuat dalam Pertemuan Internasional Ke-3 International Palm Oil Workers United (IPOWU) di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (12/9/2025). Forum bertema “Kerja Layak di Perkebunan Kelapa Sawit” itu mempertemukan buruh dari Indonesia, Ghana, Kolombia, hingga akademisi dan aktivis lintas negara.

“Mayoritas buruh sawit adalah perempuan. Mereka bekerja dengan bahan kimia berbahaya, tapi statusnya masih Buruh Harian Lepas (BHL). Ada yang belasan tahun tetap saja tidak diangkat menjadi pekerja tetap,” kata Yublina Oematan dari Federasi Serikat Buruh Kelapa Sawit Indonesia (FSBKS).

Di Kalimantan Barat, kebun sawit membentang seluas 3,2 juta hektare atau 22 persen wilayah provinsi. Dinas Perkebunan dan Peternakan setempat mencatat sekitar 150 ribu orang bekerja di sektor ini.

Kepala dinas, Heronimus Hero, menyebut sebagian Dana Bagi Hasil (DBH) sawit dialokasikan untuk jaminan sosial ketenagakerjaan dan beasiswa anak pekebun. Namun, ia mengakui kesejahteraan buruh masih jadi pekerjaan rumah besar.

Breaking News: Warga Kubu Raya Geger, Pria 48 Tahun Tewas dengan Luka Tembak di Kepala

“Isu kesejahteraan pekerja masih mendesak. Perusahaan perlu membekali buruh dengan tata cara aman penggunaan agrokimia,” ujarnya.

Praktisi K3, Dr. Naura Zainar Aufaira, menyoroti minimnya layanan kesehatan di perkebunan. “Perempuan hamil sangat rentan terhadap paparan bahan kimia. Sayangnya, banyak perusahaan bahkan tidak memiliki dokter di kebun,” katanya.

Selain upah rendah dan risiko kesehatan, buruh perempuan juga menghadapi tekanan ketika bersuara. Yohana Ullu, Ketua Komite Gender asal Kalimantan Selatan, mencontohkan ada buruh yang justru didemosi setelah ikut pelatihan serikat.

Ia menilai, pembentukan komite gender di perusahaan penting untuk memberi ruang aman bagi pekerja perempuan menyampaikan keluhan, mulai dari upah tidak adil hingga kasus kekerasan.

Direktur LinkAR Borneo, Ahmad Syukri, menambahkan, keuntungan besar dari sawit belum otomatis dirasakan buruh. “Upah rendah, status kerja tidak jelas, dan risiko K3 masih jadi persoalan utama. Transisi sawit yang adil dan berkelanjutan tidak boleh melupakan buruh perempuan,” tegasnya.

Bangunan Masjid Kayu As Syukur, Bawa Kenangan Masa Silam

Forum IPOWU menutup pertemuan dengan rekomendasi perlunya regulasi yang lebih kuat di tingkat daerah, serta keterlibatan suara perempuan dalam setiap kebijakan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *